My dad is a racist… *sigh

Selain film Perang Bintang ( 😛 ), di Indonesia lagi rame banget sama film komedi Indonesia besutan pegiat Stand up, ada Single dan Ngenest. Karena satu dan lain hal, gw pribadi jarang banget nonton film di Bioskop, apalagi nonton film Indonesia, terakhir sih sempat nonton Pendekar Tongkat Emas dan Supernova, karena kayaknya dulu film ini hits banget. Main ke bioskop paling kalau ada bener2 film yg diincar. Dannn, film Single dan Ngenest ini bukan film yg gw tungguin.

Pengguna media sosial rame banget yang review kalau film ini bagus, kocak dan fresh. Salut buat Ernest sih sebenernya, karena dia orang baru di dunia film, dan dateng-dateng langsung nulis skenario plus nge-direct. Sekelas Joko anwar aja sampai ngasih apresiasi. Kalau si Raditya kan emang udah pemain lama. But still, tetap gak berniat nonton sih. Nothing personal.

2016-01-06_225545

 

 

Kalau dari postingannya maya soal film ini, Ngenest bercerita soal perjalanan hidup pribadinya si Ernest sendiri, seputar soal tumbuh sebagai minoritas, race bullying, persahabatan, dan a bit romance.

rBxVd1WR.jpg
picture from @ernestprakasa ‘s twitter account

 

Di awal kemunculannya di jagat stand up, Ernest ini emang cukup terkenal dengan racist jokes. Gw sempat sekilas nonton salah satu show-nya, dan emang bener sih, materinya cukup kental sama ‘cina’, dan kadang-kadang agak frontal juga, tapi emang ada benarnya juga.

Topik soal ras emang masih sensitif kayaknya di Indonesia. Di kota-kota besar mungkin gap ini sudah mulai meredup karena orang-orang sudah terkoneksi antar ras. Kerja di satu kantor aja rasnya bisa dari Sabang sampai Merauke.

Membahas ‘ras tiongkok’, masih banyak orang-orang di kota kecil yang kayaknya masih anti sama ras yang satu ini, dan alasannya pun beragam. Gw salah satu orang di kota kecil di sumatera yang berkesempatan menetap di kota besar dan berkesempatan terkoneksi dengan beberapa teman ras tiongkok, so i can see the perspective differentiation.

Ada banyak stereotype yang berkembang soal ras tiongkok ini di masyarakat, dan sedihnya gak sedikit yang bernada negatif. I’m not gonna address one, because it’s awful. Sebagai orang yang dikasih kesempatan bersekolah cukup tinggi, gw merasa gw harus punya pemikiran yang terdidik dan logis pula. Melabeli ras tertentu dan melabeli orang dengan ras tertentu sangat-sangat tidak logis.

 

Habis baca postingannya si Maya kemarin, pagi ini gw langsung dikasih cobaan. Pagi-pagi dapat telpon dari ayah, seperti biasa nanyain kabar, sebelum nutup telpon, gw sempat discuss soal masalah cukup penting berkaitan dengan pabrik tempat gw bekerja sebelumnya. Diskusi cukup lama dan sampai pada titik menyerempet ke teman sekamar gw pas masih kerja di pabrik dulu. Oiya, selama kerja di pabrik sebelumnya, gw tinggal sekamar dengan orang tiongkok selama 2 tahun.

Tanpa tedeng aling-aling, ayah gw menyerang teman gw ini secara personal karena ras dia. Gw langsung kaget, dan langsung berusaha keras menarik topik kembali untuk fokus ke masalah gw. Sebelum menutup telepon pun, si ayah masih beberapa kali nyerang ras temen gw. *sigh

Setelah nutup telepon, gw agak terbengong sebentar, dan beberapa menit kemudian, setelah pergelutan batin cukup panjang, gw ngirim sms ke ayah gw. Isinya mengingatkan ayah gw kalau gak baik berprasangka buruk terhadap orang dengan ras tertentu, ataupun terhadap ras itu sendiri. Gw sempat tambahin kalau gw berkesempatan ngerasain bangun tidur dan tidur lagi sama orang tiongkok, dan saat ini pun dekat dengan beberapa teman tiongkok, dan tuduhan-tuduhan berbau ras itu sangat tidak adil.

Si ayah pun kemudian membalas sms mengiyakan isi sms gw sebelumnya, tapi di akhir2 tetap berkeyakinan sama pandangan dia soal ras tiongkok. Gw udah gak bisa apa-apa, kayak yang pernah gw bilang di Path;

“I can’t make you think the way I think, you can’t make me think the way you think. Ambush each other’s way of thinking is awful”.

Gw pun gak berniat melanjutkan perbincangan.

 

Gw pada akhirnya lega, karena gw punya ‘courage to defend’. ‘Defend’ bukan dalam artian membela teman-teman gw yang memiliki ras tiongkok, tapi lebih ke ‘defend’ cara pandang gw dalam melihat sesuatu kepada orang tua gw. Sayang banget kalau gw sekolah jauh-jauh dan tinggi-tinggi sampai sarjana tapi ujung-ujungya masih berpegang pada cara pikir yang dangkal.

 

 

Ada yang punya pengalaman soal ras-ras kayak gw? (Gw terlalu sering ngetik ras, berasa kayak lagi ngebahas unggas…. -___- )

Atau ada yang punya pengalaman berbeda pandangan denga orang tua?

Share dong… 😀

 

Be thankful

You’re in the place where you’re at right now for a reason“.

Alhamdulillah banget gw bukan orang yang suka mengeluh sama keadaan diri. Oke lah kadang-kadang masih sering khilaf berteriak dalam hati ‘Why God??!!“, “Why MEEE?“, “Why Now?“, and another why-s, tapi makin ke sini mulai belajar untuk “gak berantem” sama Tuhan. Capek euy, gak lawan… *ya menurut ngana?*.

Tulisan ini terinspirasi dari kisah hidup gw sendiri. Setelah gw lulus dari bangku kuliah tahun 2013, gw bersyukur banget karena diberi kesempatan untuk langsung bekerja di suatu perusahaan ternama. Bersyukur karena gak malu-maluin orang tua kalau ditanyain tetangganya “anaknya kerja di mana sekarang?“, bersyukur karena udah bisa memenuhi kebutuhan sendiri tanpa “ngemis” ke orang tua lagi, bersyukur karena udah mengurangi beban kampus setelah ngendon di kampus cukup lama, dan bersyukur atas banyak hal lainnya.

Sampai akhirnya gw merasakan bagaimana rasanya bekerja, rasanya memegang tanggung jawab, rasanya menjadi “robot”, rasanya pulang-pulang kerja langsung tepar sampai keesokan paginya, rasanya dimarahin atasan, rasanya dianggap rendah rekan kerja, dan rasa-rasa lainnya. Dalam perjalanan itu gak jarang gw mengeluh, kadang mencak-mencak emosi, terkadang melipir menjauh dari keriuhan untuk menghapus satu-dua tetes air mata.

Gw pun sering membatin, “kok kerja itu gini2 banget ya??!!“, and then a second later, i felt like i want to punch my face, and SHOUT OUT   — “Lo udah dikasih kerjaan, masih aja ngeluh!!! Lo pernah bayangin ada berapa sarjana yang masih berkeliaran di jalan-jalan sambil bawa map berisi CV plus surat lamaran????!!! Lo pernah bayangin ada berapa juta sarjana yang berharap menggantikan posisi lo sekarang???!!!”,  —  dan gw pun langsung menarik napas panjang, mengangkat kepala tinggi-tinggi dan melanjutkan pekerjaan.

Per 7 Juli 2015 lalu, kontrak kerja gw pun habis, 2 tahun berlalu sejak 15 Juli 2013, dengan berat hati gw tidak memutuskan untuk melanjutkan kontrak karena ada alasan khusus yang belum bisa gw share. Dan sejak tanggal 7 Juli itulah, gw resmi jadi pengangguran kelas berat, kerjaannya cuma makan tidur, sama sekali tidak produktif secara finansial ataupun harfiah. Dalam bulan-bulan ke depan gw kembali mengandalkan asupan dana dari orang tua.

Ada beberapa momen di mana gw membatin  — “Sh*t!, gw gak punya apa-apa sekarang!!!  What am i doing???!!! ” — And then it hits me again,  — ” Lo saat ini dikasih kesempatan untuk istirahat, masih aja ngeluh???!!! Lo gak ngebayangin gimana rasanya harus bangun pagi-pagi, mandi pagi-pagi, trus berangkat kerja dengan hati mendongkol sampai sore??!! Lo gak ngebayangin gimana rasanya siang-siang harus meeting dengan keadaan mata ngantuk super berat???!! Lo gak ngebayangin harus grasak-grusuk sana-sini ngejar target yang unbelieavable” —  dan gw pun melanjutkan tidur siang gw yang tertunda. Hhahahaha…..

Gw akhirnya memilih berdamai dan memutuskan untuk bersyukur atas apapun yang terjadi dalam hidup gw. I’m just gonna stay positive and doing the best i can do right now, because The Present-Me is in charge for The Future-Me.

.

Be thankful, stop complaining!

The Doomsday

Waktu kecil dulu pernah dong dikenalin sama yang namanya doomsday atau hari kiamat? Gw sering banget diceritain betapa menyeramkannya hari kiamat ini dari orang tua, guru, atau orang-orang yang dituakan, atau gak sengaja baca di buku atau komik.

Seinget gw, penggambaran kiamat waktu kecil dulu sangat-sangat mengerikan dan bisa terjadi kapan saja. Well,  mau dulu atau sekarang atau sekian tahun mendatang, kiamat itu pasti sangat amat mengerikan banget, dan tetap bisa terjadi kapan saja. Tapi, kesan betapa mengerikannya kiamat itu sangat terasa pas gw masih kecil. Sampai-sampai, kalau ada hujan plus petir-petir yang menyambar, gw langsung histeris, takut kalau dunia bakal kiamat. Trus, pernah merasakan suatu senja yang sinar mataharinya bedaaaa banget, kuning kemerah-merahan gitu, gw langsung panik, malam ini pasti kiamat, TIDAAAKKKK….. Satu pengalaman mengerikan lainnya, suatu malam pernah terbangun karena hujan yang super kenceeenng banget, ditambah suara guntur dan cahaya petir saling menyambar, di situ gw sampai merinding, dan gak terasa air mata menetes aja gitu saking ketakutannya kalau dunia bakalan menyentuh akhir. Eh ternyata kiamatnya gak jadi *ya menurut ngana?*, soalnya besok paginya udah keluyuran maen kesana kemari.

Itu beberapa kisah dari efek mendengarkan cerita-cerita betapa menyeramkan kiamat. Sebenarnya, bukan cuma penggambaran kiamat itu yang mengerikan, tapi apa yang terjadi sesudahnya yang lebih asoy. Yup! siapa sih yang suka rela pengen masuk Neraka? Semasa kecil, kita sering diingatkan soal betapa magical-nya Surga dan betapa horrible-nya Neraka. Soal Surga dan Neraka ini juga cukup buat ketar-ketir pas zaman kecil. Makanya dulu takuuutt banget kalau mati. *you think?*

Nah.. How about now? Masih takut gak kalau tiba-tiba kiamat? Takut mati gak?

Ya takut dong! Ya masih percaya dong! Tapi gw gak bisa bohong kalau rasa takut plus rasa merinding-merinding itu sudah berlipat-lipat kali berkurang jika dibandingkan sama apa yang pernah gw rasakan waktu kecil dulu, bahkan seringnya malah sama sekali lupa.

Gw dengan selfish-nya  yakin kalau gw masih bisa hidup sampai menua kelak, dengan confident-nya percaya bahwa Bumi masih sanggup berputar sampai beratus-ratus tahun mendatang. Semakin dewasa, kita semakin sombong sama hidup, kita merasa masih punya waktu untuk bertaubat kelak.

Momen paling gak banget nih, pas akhir-akhir Ramadhan biasanya imam mesjid atau penceramah biasanya sering berdoa supaya bisa bertemu kembali dengan Ramadhan tahun berikutnya. Hati kecil gw seringnya gak  tersentuh dan malah dengan sombongnya percaya kalau tahun depan juga bakalan ketemu Ramadhan lagi.

Ada yang merasakan hal yang sama gak sih? Apa cuma gw doang?

Coba lihat deh berita-berita sekarang, kekerasan di mana-mana. Orang-orang sudah lupa kalau setelah hidup yang sekarang ini, masih ada kehidupan mendatang di mana kita bertanggung jawab sama apa yang sudah kita lakukan selama hidup. ‘Karma’, you get what you deserve. Gak usah jauh-jauh deh, kadang kalau gw sengaja buat jahat sama orang nih, besoknya udah kena karmanya aja.

source : muslimdaily.net
source : muslimdaily.net

Kita beneran udah lupa sama hari kiamat ya?

The one who got picked last

Salah satu resolusi gw di tahun 2015 adalah untuk gak nganggurin raket tenis yang sedang mengalami proses perkaratan di atas lemari baju. Dan, Alhamdulillah beberapa minggu terakhir akhirnya dikasih kesempatan untuk mengayunkan si raket tenis.

the 9th resolution
the 9th resolution

Di awal masuk kerja dulu, sempat beberapa kali main tenis, barengan sama orang-orang yang main badminton. Semenjak beberapa personilnya mulai menghilang dari peredaran satu-persatu, gw pun mulai mengistirahatkan raket gw.

240320151021
Raket gw turun gunung lagi

Sampai akhirnya setahun kemudian, satu obrolan iseng di kantin akhirnya memaksa si raket untuk turun gunung. Awalnya sih diajakin main badminton, tapi berhubung gw gak punya raketnya dan ternyata garis tangan Tuhan memutuskan gw untuk gak mahir-mahir amat main badminton, gw pun menolak halus. Di ujung pembicaraan, gw selipkan kata-kata kalau gw lebih mahir main tenis dan ada raket yang nganggur di kamar. Eh, jodoh gak kemana, ternyata orang yang ngajakin main badminton punya geng juga di lapangan tenis. Dan, sejak 3 minggu yang lalu, gw pun mulai rutin main tenis lagi. Prok..prok..prok…

Geng tenis gw kali ini ternyata beda dengan geng gw waktu awal-awal masuk kerja dulu *elahhh… maen geng-geng-an!*. Pas awal masuk kerja dulu, kebanyakan yang main tenis adalah murid transfer dari lapangan sebelah alias lapangan badminton. Jadi, kebanyakan yang main tenis adalah orang-orang yang baru banget megang raketnya, dan kebanyakan wece-wece, alias cewek-cewek. Yang level main tenisnya udah lumayan paling cuma ada 2-3 orang. Gak bisa disalahin juga sih, secara pada waktu itu, tenis cuma jadi pelengkap penderita di lapangan. Hal ini karena yang bisa main tenis cuma segelintir orang, dan daripada di lapangan tenis sunyi senyap saat kami main tenis, anak-anak tenis pun gabungin schedule sama anak-anak geng badminton. Biar rame aja.

Nah,geng gw yang baru ini ternyata anak-anaknya rata-rata udah pada lumayan, dan semuanya woco-woco alias cowok-cowok. Masih ada beberapa yang newbie juga sih, tapi so far so good lah.

Gw di sini mau cerita soal geng tenis yang baru ini (Lah! Ini baru dimulai ceritanya?!)

Geng tenis gw yang baru ini terdiri dari sebagian besar anak-anak yang udah pro level kelurahan, dan sebagian kecil masih newbie. Kalau gw sendiri masuk ke tipe yang mana? Kayaknya sih masuk ke golongan yang pertama (cieeee…. anak geng kelurahan mana lo?!). Zaman kuliah dulu, Alhamdulillah gw dikasih kesempatan *dan sumbangan dana dari ortu* untuk latihan tenis sama pelatih selama sekitar 2 tahunan. Jadi, basic-nya udah lumayan lah, paling kalau disuruh backhand sambil koprol baru agak pusing-pusing dikit (ya menurut ngana?!).

Dalam beberapa kesempatan, gw agak jarang dapat kesempatan istirahat karena orang-orang tau gw main tenisnya lumayan. Di sisi lain, personil-personil newbie agak kesulitan untuk dapat kesempatan bermain karena mainnya masih belum benar, dan kadang-kadang malah diomelin karena gak bisa ngembaliin bola.

Then it hit me!!

I was one of them before.

I’m the one who always got picked last.

Sejak kecil, bahkan mungkin sampai sekarang, dalam sebuah tim, gw jarang banget dapet luxury untuk dipilih paling awal. Gw paham banget perasaan para newbies ini menunggu saat-saat nama mereka dipanggil untuk ikut bermain. Selama latihan, perasaan gw campur aduk, nelangsa mikirin para newbie, sebel ngeliat anak-anak yang nge-bully para newbie, dan a bit enjoy the time of being needed & being popular (munafiqun banget gw ini?!).

Gw gak ngerti mau ngasih pesan apa dari posting-an ini. Menjadi anak yang dipilih awal-awal ternyata gak semenakjubkan yang sempat gw bayangkan. Gw malah kepikiran terus sama teman-teman lain yang dipilih paling akhir, plus gw gak nyaman dengan segala macam ekspektasi yang dialamatkan ke gw.

It’s easier of being average, I guess.

Buseettt daah, isi posting-an gw gak ada mendidik-mendidiknya sama sekali.

Bolak-balik pesannya malah kampanye untuk jadi average person. T_T

It’s not easy of being perfect

First of all, i’m not saying that i’m one, but i think it’s not always fun of being perfect.

Beberapa hari yang lalu, gw baru sadar soal ini (after all these years).

Menjadi pribadi yang sempurna tanpa cela punya konsekuensinya sendiri. Orang-orang di sekitar akan mengharapkan hal-hal ajaib muncul dari diri kita. Cara kita menjalani hidup mulai “diatur” oleh ekspektasi orang-orang di sekeliling kita.

Misalnya, dengan menjadi orang paling cakep satu kelurahan punya harga yang “harus” dibayar. Orang-orang akan mengharapkan kita untuk berlaku anggun tiap detik. Sebagian mungkin menduga kalau antrian yang mau jadi pasangan hidup kita sudah mengular tak berujung. Sisanya mungkin gak terima kalau kita -seperti manusia normal lainnya- bisa ngupil juga.

Menjadi orang super jenius juga tidak terlihat sefantastik kelihatannya. Keluarga mungkin akan ketagihan dengan nama kita yang selalu dipanggil paling awal di kelas. Teman-teman mungkin mulai malas bergaul dengan kita karena merasa terintimidasi. Belum lagi tekanan lingkungan untuk mencari pasangan hidup yang “sekelas” dengan kita atau lebih.

Selama ini mungkin kita sirik bukan kepalang melihat pribadi-pribadi nyaris sempurna di sekitar kita, tanpa tahu apa yang ada sebenarnya ada di dalam pikiran mereka. Dan kita pun mulai berkhayal untuk mendapatkan pengalaman hidup yang sama, tanpa tahu kita mampu menghadapi tekanan yang sudah siap menghadang atau tidak.

Be careful of what you wish for……

Dari dulu gw selalu punya impian untuk dapat melanjutkan kuliah di universitas-universitas top di Indonesia, macam ITB, UI atau UGM. Mungkin bukan cuma gw aja kali ya yang punya mimpi kayak gini, dan mungkin bukan cuma gw aja yang kecewa karena rezekinya gak ada di sana. Gw pun berakhir di kampus yang levelnya mungkin ada satu kelas di bawah universitas-universitas top di atas.

Di tempat kerja yang sekarang, ternyata ada beberapa rekan yang merupakan lulusan kampus top di Indonesia. Lingkungan kantor termasuk gw tentu punya ekspektasi super tinggi terhadap orang-orang ini. Gerak-gerik mereka mulai gak lepas dari pengamatan lingkungan sekitar, dan orang-orang mulai mengharapkan sesuatu yang luar biasa terjadi.

Wajar sih….

Tapi sebagai orang yang gak nyaman oleh sorotan, gw tentu akan mengalami stres luar biasa dengan perlakuan seperti ini. Orang-orang mulai mengharapkan kita hadir dengan ide cemerlang tiap harinya, mengharapkan hasil kerja yang tanpa cela, mengharapkan kita selalu punya solusi atas tiap masalah.

I guess, i never be comfortable of being perfect. I’m grateful of just being average.

Gw bukannya gak pengen icip-icip luxury of being perfect. Tentu aja gw pengen. Tapi gw pengen mental gw sudah siap saat itu terjadi.

Gw gak pengen jadi orang yang sering minta kehidupan yang macem-macem, dan pada saat keinginan-keinginannya terkabul malah jadi stres sendiri karena ternyata mental kita nya gak siap. Pernah dengar kan cerita tentang orang yang mendadak kaya raya tujuh turunan karena menang undian dan mendadak gak punya apa-apa beberapa bulan setelahnya?

So, being perfect isn’t easy at all.

You just need to respect the life the way it is. Be careful of what you wish for.