Selain film Perang Bintang ( 😛 ), di Indonesia lagi rame banget sama film komedi Indonesia besutan pegiat Stand up, ada Single dan Ngenest. Karena satu dan lain hal, gw pribadi jarang banget nonton film di Bioskop, apalagi nonton film Indonesia, terakhir sih sempat nonton Pendekar Tongkat Emas dan Supernova, karena kayaknya dulu film ini hits banget. Main ke bioskop paling kalau ada bener2 film yg diincar. Dannn, film Single dan Ngenest ini bukan film yg gw tungguin.
Pengguna media sosial rame banget yang review kalau film ini bagus, kocak dan fresh. Salut buat Ernest sih sebenernya, karena dia orang baru di dunia film, dan dateng-dateng langsung nulis skenario plus nge-direct. Sekelas Joko anwar aja sampai ngasih apresiasi. Kalau si Raditya kan emang udah pemain lama. But still, tetap gak berniat nonton sih. Nothing personal.
Kalau dari postingannya maya soal film ini, Ngenest bercerita soal perjalanan hidup pribadinya si Ernest sendiri, seputar soal tumbuh sebagai minoritas, race bullying, persahabatan, dan a bit romance.
Di awal kemunculannya di jagat stand up, Ernest ini emang cukup terkenal dengan racist jokes. Gw sempat sekilas nonton salah satu show-nya, dan emang bener sih, materinya cukup kental sama ‘cina’, dan kadang-kadang agak frontal juga, tapi emang ada benarnya juga.
Topik soal ras emang masih sensitif kayaknya di Indonesia. Di kota-kota besar mungkin gap ini sudah mulai meredup karena orang-orang sudah terkoneksi antar ras. Kerja di satu kantor aja rasnya bisa dari Sabang sampai Merauke.
Membahas ‘ras tiongkok’, masih banyak orang-orang di kota kecil yang kayaknya masih anti sama ras yang satu ini, dan alasannya pun beragam. Gw salah satu orang di kota kecil di sumatera yang berkesempatan menetap di kota besar dan berkesempatan terkoneksi dengan beberapa teman ras tiongkok, so i can see the perspective differentiation.
Ada banyak stereotype yang berkembang soal ras tiongkok ini di masyarakat, dan sedihnya gak sedikit yang bernada negatif. I’m not gonna address one, because it’s awful. Sebagai orang yang dikasih kesempatan bersekolah cukup tinggi, gw merasa gw harus punya pemikiran yang terdidik dan logis pula. Melabeli ras tertentu dan melabeli orang dengan ras tertentu sangat-sangat tidak logis.
Habis baca postingannya si Maya kemarin, pagi ini gw langsung dikasih cobaan. Pagi-pagi dapat telpon dari ayah, seperti biasa nanyain kabar, sebelum nutup telpon, gw sempat discuss soal masalah cukup penting berkaitan dengan pabrik tempat gw bekerja sebelumnya. Diskusi cukup lama dan sampai pada titik menyerempet ke teman sekamar gw pas masih kerja di pabrik dulu. Oiya, selama kerja di pabrik sebelumnya, gw tinggal sekamar dengan orang tiongkok selama 2 tahun.
Tanpa tedeng aling-aling, ayah gw menyerang teman gw ini secara personal karena ras dia. Gw langsung kaget, dan langsung berusaha keras menarik topik kembali untuk fokus ke masalah gw. Sebelum menutup telepon pun, si ayah masih beberapa kali nyerang ras temen gw. *sigh
Setelah nutup telepon, gw agak terbengong sebentar, dan beberapa menit kemudian, setelah pergelutan batin cukup panjang, gw ngirim sms ke ayah gw. Isinya mengingatkan ayah gw kalau gak baik berprasangka buruk terhadap orang dengan ras tertentu, ataupun terhadap ras itu sendiri. Gw sempat tambahin kalau gw berkesempatan ngerasain bangun tidur dan tidur lagi sama orang tiongkok, dan saat ini pun dekat dengan beberapa teman tiongkok, dan tuduhan-tuduhan berbau ras itu sangat tidak adil.
Si ayah pun kemudian membalas sms mengiyakan isi sms gw sebelumnya, tapi di akhir2 tetap berkeyakinan sama pandangan dia soal ras tiongkok. Gw udah gak bisa apa-apa, kayak yang pernah gw bilang di Path;
“I can’t make you think the way I think, you can’t make me think the way you think. Ambush each other’s way of thinking is awful”.
Gw pun gak berniat melanjutkan perbincangan.
Gw pada akhirnya lega, karena gw punya ‘courage to defend’. ‘Defend’ bukan dalam artian membela teman-teman gw yang memiliki ras tiongkok, tapi lebih ke ‘defend’ cara pandang gw dalam melihat sesuatu kepada orang tua gw. Sayang banget kalau gw sekolah jauh-jauh dan tinggi-tinggi sampai sarjana tapi ujung-ujungya masih berpegang pada cara pikir yang dangkal.
Ada yang punya pengalaman soal ras-ras kayak gw? (Gw terlalu sering ngetik ras, berasa kayak lagi ngebahas unggas…. -___- )
Atau ada yang punya pengalaman berbeda pandangan denga orang tua?
Share dong… 😀