Di era yang semuanya serba cepat seperti sekarang ini, informasi mengalir tanpa ada sekat, baik itu informasi yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan, informasi terpotong-potong atau kadang sekadar fitnah belaka. Keabsahan informasi seringnya diabaikan, karena terkadang kita lebih fokus untuk memberikan komentar, agar terkesan menjadi individu terkini, dan ujungnya jadi tukang fitnah.
That’s why, we need to double-check! For our own safety, at least.
Beberapa minggu kemarin sempat heboh berita tentang putusan hakim PN Palembang Parlas Nababan yang mementahkan gugatan pemerintah terkait isu kebakaran lahan. Kita semua sontak panik, meme bermunculan sana sini, haters berkeluaran dari sarangnya, semua umbar komentar (yang pada akhirnya ternyata jadi fitnah)
Pertama, satu hal yang orang-orang tidak tahu (atau tahu nya belakangan) adalah bahwa kasus ini merupakan kasus pada tahun 2014. Masih belum hilang di ingatan bagaimana parah dan tersiksanya bencana asap tahun 2015 yang sampai berbulan-bulan menyerang satu pulau. Isu ini pun menjadi isu panas saat hakim memenangkan perusahaan pembakar lahan.
Memang, ini bukan hal yang prinsip dalam masalah ini, karena toh, mau tahun 2014 atau tahun 2015, masyarakat sama-sama tersiksanya karena asap. Ini benar. Namun akan lebih baik kalau kita tahu asas-asas masalahnya, jadi kita tidak sembarang melontarkan komentar.
Dan kita lanjut ke poin nomor 2. Indonesia merupakan negara hukum, jadi ada aturan-aturan yang menentukan menang kalahnya satu pihak di mata hukum. Persoalan pembakaran lahan yang sedang dibahas ini adalah salah satu persoalan hukum dengan pemerintah diwakili kementrian lingkungan hidup sebagai penggugat, dan si perusahaan pembakar lahan sebagai tergugat. Singkatnya, dalam skema penyelesaian masalah di mata hukum, ada penggugat, tergugat, pengacara, jaksa dan pada akhirnya sang hakim.
Akhir cerita, kasus ini dimenangkan perusahaan pembakar asap. Kita semua gak terima, tapi gak banyak yang tahu (atau mau mencari tahu) apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata penggugat berpegang pada pasal-pasal yang lebih fokus kepada kerusakan lahan, bukan ke pencemaran lingkungan. Terang saja akhirnya hakim mengutip ;
“tidak terjadi kerusakan lahan di bekas lahan yang terbakar, seperti yang dituduhkan penggugat, terkait misalnya PH tanah dan lahan itu tidak seluruhnya gambut. Kesimpulannya pasca kebakaran tidak terjadi kerusakan lahan,”
karena memang tidak terjadi kerusakan lahan pasca pembakaran. Lahannya gak kenapa-kenapa, orangnya yang kena asap yang megap-megap. Dalam hal ini, kita harusnya protes dan buat meme ke pemerintah karena gak cerdas dan teliti dalam perkara hukum. Selain itu, pemerintah terkesan teledor dan mengada-ada karena mengajukan tuntutan fantastis sebesar Rp 7,9 triliun yang dasar hukumnya masih belum jelas, hanya karena bernafsu ingin membuat jera para pembakar lahan.
Sekali lagi, ini persoalan hukum. Pemerintah punya kesempatan membawa perusahaan pembakar lahan ke ranah hukum, namun gugatan yang dilemparkan masih bias, dengan tuntutan yang mengada-ada dan bukti yang kurang. Pemerintah akhirnya mengaku kalah ;
Tim penasihat hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengakui, bahwa bukti-bukti yang dilayangkan ke pengadilan untuk menjerat PT. Bumi Mekar Hijau dalam kasus pembakaran hutan secara perdata terbilang lemah, kurang kuat. Hal itulah, yang membuat majelis hakim yang diketuai Parlas Nababan mengandaskan gugatan.
That’s why, we need to double-check!
Hakim gak salah, karena penggugat ternyata memang gak siap dengan ‘senjata’-nya, tapi satu Indonesia terlanjur udah jadi tukang fitnah, apa mau di kata?.
Gw udah agak paham pattern-nya, kalau ada isu kontroversial, media sekarang cenderung fokus ke hal-hal yang menjadi bahan omongan, dan biasanya membiaskan fakta. Dalam kasus ini, gw bukan pembela si perusahaan pembakar lahan. Kalau ada yang mau disalahin dan mau dibuat meme-meme-an, harusnya semua itu ditujukan ke pemerintah sebagai pengguggat yang kurang teliti dan terkesan gak siap bertanding di ranah hukum.
Poin nomor 3. Kalau kita mau melihat lagi pernyataan si hakim di atas, dan melihat pesan-pesan yang disampaikan meme;
Membakar hutan tidak merusak lingkungan hidup karena masih bisa ditanami lagi; Membakar hakim tidak merusak sistem peradilan karena masih bisa pilih hakim baru lagi.
Di sini sebenarnya jokes back on to the haters. Kalau gugatan pemerintah lebih fokus pada fungsi lahan yang habis dibakar, hakim kayaknya sudah bertindak benar, karena memang gak ada masalah pada lahan yang sudah dibakar. Yang jadi masalah kan asap yang ditimbulkan oleh pembakaran lahan itu sendiri. Gw gak paham apa sudah ada pasal yang berkaitan dengan efek asap yang ditimbulkan oleh pembakaran lahan ini atau belum.
Kalau ternyata sudah ada, betapa bodohnya pemerintah menggunakan pasal yang salah untuk menjerat si perusahaan pembakar lahan. Jelas aja hakimnya memenangkan si tergugat. Kalau ternyata pasalnya belum ada, shame on the legislative, karena mereka yang buat undang-undang. Kalau udah kayak gini ya gak bisa diharepin, target RUU 2015 aja gak tercapai.
Prestasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menyelesaikan Undang-Undang (UU) masih belum menggembirakan. Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2015, DPR hanya dapat mengesahkan sebanyak 17 UU dari rencana sebanyak 39 Rancangan Undang-Undang (RUU).
Data yang dimiliki KONTAN menunjukkan, dari 17 UU yang telah disahkan tersebut hanya tiga UU yang berasal dari inisiatif DPR. Selebihnya merupakan UU komulatif terbuka dari pemerintah
**
Ada kasus yang fresh from the oven nih. Soal paspampres yang dikabarkan terlibat aksi pukul dengan Camat Tanah Abang dan sejumlah anggota satpol PP.
As usual, media lebih menonjolkan sisi kontroversinya lebih dahulu. Kita pun ‘terganggu’. Apalagi dalam waktu bersamaan ada berita penangkapan paspampres yang kedapatan membawa narkotik di Bandara Medan. Media sosial rame, satu kesatuan pasukan dimaki-maki.
Beberapa jam kemudian, media biasanya baru mengabarkan kronologinya, karena mereka memang butuh waktu untuk klarifikasi. Dan ternyata, si paspampres ini yang malah nyaris jadi korban pemukulan seperti diberitakan di sini;
Tidak lama setelah itu, salah satu pedagang yang gerobaknya disita satpol PP menendang kardus berisi botol air mineral di depan kaki Hidayatullah dan berusaha mencekiknya.
Dari pengakuannya, justru Serda TP yang berjarak sekitar tujuh meter dari Hidayatullah berusaha menghentikan pedagang tersebut. Namun, saat Serda TP berhasil memisahkan pedagang dengan Hidayatullah, Serda TP dihalangi anggota satpol PP dan diminta masuk lagi ke kantor Hidayatullah. Di dalam, Serda TP tiba-tiba dipukul di bagian kepala oleh salah satu oknum satpol PP.
“Pada saat itulah, Serda TP balas memukul oknum satpol PP dan mereka yang berusaha memukulinya. Karena terdesak, Serda TP mengeluarkan airsoft gun dan memukulkannya ke salah satu (oknum) satpol PP,” ujar Andika.
Dan satu Indonesia pun terlanjur jadi tukang gunjing.
That’s why, we need to double-check!
**
Ini cuma beberapa contoh doang sih. Kalau dilihat-lihat, orang zaman sekarang ntar dihisabnya pasti banyak hitung-hitungan dosa fitnahnya deh. That’s why, we need to double-check! Karena fitnah lebih kejam daripada tidak memfitnah!! Waspadalah!! Waspadalah!!!